Showing posts with label imaji. Show all posts
Showing posts with label imaji. Show all posts

Thursday, July 7, 2011

Menyesap Seperti Kamu, Seperti Darah.

Ini sudah hari ke berapa,Blood? Sudah hampir hari ke-800 kamu mengisi hidupku. Melarung di dalam celah-celah daging tubuhku tanpa mengenal apa itu lelah. Kau tetap memerah. Seperti saat pertama kali aku dilahirkan. Tapi, saat itu kita belum bertemu, Blood.

Hari ini tidak ada senyum dariku untukmu, Blood. Aku sedang marah padamu. Aku ingin membunuhmu agar kau tidak lagi menyesapi setiap celah daging tertipisku. Aku ingin kau menjadi hitam. Bukan merah. Aku ingin kau kubasuh dengan air yang lebih ringan darimu agar kau tidak terus sombong di dalam tubuhku. Aku ingin kau meneteskan kehidupanmu tanpa perlu selang yang membantu aliranmu. Aku membencimu, Blood. Membencimu karena aku tidak bisa hidup dalam kehidupan yang sesungguhnya jika kamu tidak hidup di dalam tubuhku. Membencimu karena kau selalu mengatakan bahwa kau tidak butuh tubuhku untuk bertahan hidup. Bahkan dalam bekunya kutub pun kau mampu. Sedangkan aku? Aku membutuhkanmu. Kau sudah membunuhku perlahan-lahan dengan begitu cepat kau keluar jika ada luka pada diriku. Padahal itu semua karena kamu. Kamu yang membuat aku menyakiti diriku sendiri. Sedangkan kau tidak pernah peduli bagaimana sakitnya aku kehilanganmu sedikit demi sedikit dari tubuhku.

Blood, jika aku mati, aku ingin matiku karena kehilanganmu. Jika kau ingin aku tetap hidup, pulanglah. Pulanglah, Blood. Rumahmu di jantungku. Di jantungku yang masih membutuhkan detak untuk tempat tinggalmu. Pulanglah, Blood. Jantungku adalah rumahmu. Pulanglah.

Wednesday, June 1, 2011

Saya Suka Bicara Pakai Pena

Malam ini malam permulaan. Saya tertawa kecil-kecil. Sendirian. Nyengir-nyengir serak karena sedang batuk berdahak. Ups! Maaf, jika jijik.
Mulai malam ini akan ada banyak cerita tentang pikir dan rasa dari saya di buku harian untuk Romo. Sssst..jangan bilang-bilang Romo ya. Ini kejutan buat Romo. Periode saya bicara dengan mulut sekarang-sekarang ini sedang malas. Saya ganti dengan bicara pakai pena. Saya ingin punya buku harian lagi setelah dua tahun yang lalu saya membakar hampir lebih dari tujuh buku harian saya. Itu masa lalu, jadi pantasnya dibakar. Nah, sekarang saya ingin menulis lagi buku harian saya. Yang baru. Yang penuh kejutan. Yang penuh kejujuran. Karena saya suka bicara pakai pena. Maka, mari menulis buku harian (kembali)!

Saturday, May 21, 2011

Dirasa, Ditanya dan Alasan.

Kalau sudah begini yang dirasa, jadi susah untuk berterus terang terhadap diri sendiri. Padahal apa susahnya untuk berterus terang? Tinggal katakan apa yang dipikir dan dirasa. Selesai. Tapi, memulai ini yang begitu berat. Bukankah hampir semua di antara kita seperti itu? Susah memulai. Kalau sudah melewatinya, maka yang berikutnya sudah gampang saja. Masalahnya sekarang adalah bagaimana caranya agar bisa memulai itu semua? Paling tidak sekedar mencoba untuk memulai. Bagaimana coba?

Begini, sudah sejak lama saya dibuat pusing sendiri dengan perjalanan pikiran saya yang berkicau-kicau. Sebenarnya apa sih maunya saya ini? Hanya seorang pengangguran yang punya satu-satunya aktifitas panjang dalam satu harian. Berkhayal. Bisa tentang apa saja. Hanya dengan berkhayal saja sudah membuat saya bahagia. Padahal itu baru khayalan. Termasuk bodoh kah saya?

Selain itu hidup saya diselingi oleh beberapa buku untuk dibaca-baca. Untuk seminggu ini saya justru tidak membaca. Rasa malas itu semakin menggila di tubuh ini. Sepertinya ada yang mengirim teluh ke saya agar saya menjadi malas.

Pada dasarnya tidak ada yang menyukai mendengarkan keluhan. Itu bisa menjadi pintu masuk penyakit bagi orang lain. Penyakit pikiran dan perasaan yang sering ditutup-tutupi oleh para sahabat mereka yang mendengarkan keluhannya itu. Tidak heran jika di antara persahabatan pasti selalu ada yang ngomong di belakang. Saat ini saya putuskan kepada diri sendiri bahwa keluhan saya adalah sebuah rahasia.

Rahasia bagi siapa pun. Termasuk juga bagi kekasih. Bukan karena ini adalah perselingkuhan. Justru tidak ada perselingkuhan di sini. Saya pikir jika dia tahu pun saya merahasiakan banyak pikir dan banyak rasa darinya tentang saya, toh sepertinya tidak masalah baginya. Dia bukan tipe lelaki yang suka mempermasalahkan hal yang sepele. Itu lah mengapa saya begitu mencintainya.

Tentang cinta dan sikap memulai, adalah membuat saya tidak mengerti bagaimana bisa pertemuan di antara kami dapat terjadi begitu saja. Ternyata sebelum-sebelumnya kami pernah bertemu, saling berbicara tapi tidak melihat satu sama lain. Bagaimana bisa? Siapa yang memulai ini semua? Saya atau dia? Siapa yang pertama kali jatuh cinta? Saya atau dia? Ingin saya tanyakan kembali kepadanya tapi saya yakin dia pasti menganggap kalau ini tidak perlu untuk dipertanyakan.

Friday, May 20, 2011

Biasa saja

Saya baru pulang dari menemani Romo ke sana dan kemari. Perasaan saya hari ini..berbeda. Bukan. Bukan tentang perasaan saya ke Romo. Tapi, perasaan saya ke diri saya sendiri. Rasanya saya semacam punya rem pada ban depan dan ban belakang. Ban depan seumpama mulut. Ban belakang seumpama sikap. Jadi, hari ini saya berbicara dan bersikap dengan hati-hati. Tidak berkata asal. Tidak bersikap berlebihan. Karena saya punya rem hari ini. Dan rem saya kebetulan keset. Tidak blong. Dan saya bukan sedang mendadak jaim.

Ingin saja hari ini menjadi seseorang yang begitu berarti untuk diri sendiri. Dan saya yakin, orang lain pun akan menganggap sama seperti yang saya katakan jika saya sendiri saja sudah bisa melakukannya untuk diri saya sendiri. Dan hari ini, saya melakukannya. Saya nyaman dengan diri saya hari ini. Saya suka dengan diri saya hari ini. Bahkan saya ingin seperti ini terus. Saya tidak berkata dan bersikap yang dibuat-buat. Tapi, saya membuat diri saya berkata dan bersikap dengan tenang. Pikiran dan perasaan saya pun saya kemudi setenang mungkin walau sebenarnya di dalam diri sedang berkecamuk penuh amuk. Sikap saya pun saya lakonin seindah mungkin walau aneh dan gugup terus saja mengetuk-ngetuk persendian. Ini lah saya hari ini dan semoga selalu begini.

Romo juga merasa kalau saya hari ini berbeda. Katanya saya diminta untuk bercerita tapi kok malah banyak bertanya. Saya jawab, dengan bertanya maka kita akan bisa bercerita. Romo juga bilang kalau hari ini saya lebih banyak diam. Saya jawab, berkata sedikit itu bukan berarti diam. Tadi juga Romo menyuruh saya untuk nyengir. Tapi, saya hanya bisa tersenyum saja. Padahal selama ini tanpa disuruh bercerita pun, saya pasti selalu berceloteh layaknya anak TK yang sedang dalam masa rasa-ingin-tahunya-besar terlepas apakah celotehan saya didengar atau tidak oleh Romo yang selalu berada di samping saya dan kebiasaan saya yang selalu nyengir yang berarti itu pertanda saya sedang baik-baik saja. Tapi, hari ini saya harus biasa saja. Seperti itu lah harapan saya saat bangun tidur pagi tadi. Ya, biasa saja. Saya juga berpikir, seperti apa yang biasa saja itu? Karena tadi malam saya sudah bersikap kekanak-kanakkan dan saya tidak nyaman. Apalagi sampai harus marah-marah untuk hal yang sangat-tidak-penting-sekali. Benar-benar membuat saya tidak nyaman. Saya tidak ingin begitu. Saya ingin biasa saja. Biasa saja di sini maksudnya bukan berarti saya adalah seperti biasa (baca: berceloteh dan nyengir). Tapi, biasa saja dalam berkata dan bersikap. Tidak lebih tidak kurang. Bukan juga mati rasa. Silakan saya berceloteh, tapi ingat kalau saya punya rem atas kata-kata saya. Silakan berlakon, tapi ingat kalau saya sedang mengemudi dan harus hati-hati.

Saya ini sedang mengemudi di posisi 20 km/jam. Hati saya terus memantau spidometer emosi saya agar jarumnya tetap berada di posisi angka 20 km/jam. Kalau saya rasa-rasa jarum spidometernya lewat dari 20 km/jam, kaki pikiran saya akan segera menginjak rem agar jarum spidometer emosi saya atas perkataan dan sikap saya secara perlahan bisa kembali ke posisi 20 km/jam. Bukan dengan rem dadakan. Nanti saya bisa terjatuh dengan kaget jika saya mengerem dengan mendadak.

Saya harus mengemudi hari-hari saya dengan biasa saja. Biasa saja itu seperti bunyi angin sepoi-sepoi yang menjatuhkan daun dengan membuatnya melayang-layang. Biasa saja itu seperti mempunyai kekasih hati tidak pernah mengkhianati. Biasa saja itu seperti menarik nafas dalam-dalam dengan tenang dan menghembuskannya secara perlahan. Biasa saja itu seperti mempunyai rasa percaya bahwa antara saya dan Romo selalu baik-baik saja.

Jika sesuatu itu kurang, itu bahaya. Jika sesuatu itu berlebih, juga bahaya. Maka, tidak perlu harus mencurigai seseorang yang mengatakan "biasa saja". Dan, Romo adalah orang yang paling rajin mengatakan "biasa saja".

Monday, April 11, 2011

Kenangan

Saya baru saja selesai makan (tengah)malam. Saat makan tadi, saya diingatkan oleh banyak hal--semoga saja saya masih ingat saat menuliskannya--tentang yang sudah-sudah. Sudah terjadi. Sudah lewat. Ya sudahlah. Tapi, sudahkah saya melupakannya? Belum. Tidak bisa. Bukan. Memang tidak bisa. Jadi, harus bagaimana? Biarkan saja. Ya, begitulah akhirnya. Saya membiarkannya. Belum. Tulisan ini belum berakhir. Jangan pura-pura bodoh.

Sabtu, 9 April 2011, saya bertemu dengan Alga di lobi Perpustakaan USU. Saya lupa sudah berapa lama tidak bertemu dengannya dan saya pun memang tidak berniat untuk mencoba menghitung sudah berapa lama. Ada keperluan dengannya. Lebih tepatnya saya mau membeli buku dari rak bukunya. Satu saja kok. Ada yang membuat saya berpikir sejenak untuk mengesampingkan pikiran fokus saya kepadanya saat saya bicara dengannya. Dia bilang, "Kalau kita membeli buku dari orang, sebenarnya kita itu membeli kenangan yang ada pada orang tersebut dan saya yakin pasti harga buku dua puluh ribu begini ini mahal buat Zai." So, why? Saya masih belum mengerti pada saat itu. Yang ada di pikiran saya adalah mengapa jual beli buku yang sudah bekas ini jadi dibikin ribet dengan menghubungkan kenangan dan harga? Pada dasarnya tidak ribet, tapi baru kali ini ada orang yang menyinggung tentang itu kepada saya dalam jual beli. Beda halnya jika itu menghadiahkannya. Wajar jika kenangan itu dibahas. Tapi, dalam jual beli? Saya masih belum juga mengerti. Banyak spekulasi yang keluar masuk dalam kepala saya entah lewat mana. Saya jadi bertanya, apa maksud dia berkata begitu? Apakah saya harus maklum jika buku itu dihargai seharga dua puluh ribu karena punya kenangan padahal seharusnya saya bisa menawar? Atau, apakah saya harus mengerti jika harga dua puluh ribu itu masih dianggap murah dari harga aslinya karena buku itu punya kenangan dari si pemiliknya maka saya tidak boleh menawar? Saya masih belum mengerti. Tidak terpikir oleh saya untuk menganggap ada kenangan di buku itu. Seharusnya saya berpikir begitu. Tapi, pada saat itu sedang tidak. Seperti biasa, jika saya berbicara dengan Alga, pasti menyisakan sedikit tandatanya di pihak saya. Saya lupa apakah pada saat itu dia ada menjelaskan apa maksud dia berkata begitu atau tidak. Benar-benar tidak fokus. Saya anggap dia berkata begitu sebagai pemanis pertemuan dan uang selembar dua puluh ribu pun saya serahkan. Jual beli sah dan selesai. Kemudian, ngobrol beberapa saat lagi sampai akhirnya berpisah dengan keluar dari pintu yang berbeda. Saat keluar dari lobi, saya baru menyadari pada dasarnya saya sangat menyayangi Alga. Tidak ingin saya ucapkan. Kalau perlu dia tidak usah tahu. Di antara kenangan bersamanya, tidak pernah tidak menyisakan tandatanya.


: Saya tidak akan melepas print-out foto kamu di tulang buku pada buku yang saya beli dari kamu.

Eternal

Bukan tidak berarti jika seorang perempuansore hanya menjadi salah satu labirin di antara spasi miliknya saya. Sekarang, justru dia yang menjadi sesuatu yang menyesap di dalam pikir dan rasa saya tentang seperti apa ringannya hidup yang berat. Saya memujinya tanpa harus memujanya.

Sudah hampir tiga bulan saya tidak singgah di terasnya. Ya, saat ini saya masih berani hanya ke terasnya saja. Selama hampir tiga bulan ini, saya hanya mengintip saja dari teras rumah saya. Mengintip dari balik keriting rambutmu bahwasanya mungkin kita sama-sama belum bisa tidur. Mengintip kalau ternyata lampu kamarmu masih menyala walau samar-samar saya rasa. Tahukah kamu, perempuansore, satu per satu resah saya meluruh dalam genangan air hujan yang barusan saja? Meluruh karena pekamu. Meluruh karena kesederhanaanmu. Meluruh karena saya menyadari kamu masih lah juga manusia. Kesederhanaan yang bersahaja. Itu yang kamu suguhkan dengan sungguh-sungguh. Dan, saya adalah salah seorang yang menyesapinya. Mungkin dengan rakus. Rakus dengan sederhana yang bersahaja.


: Malam ini, adakah memujimu seperti memujamu, perempuansore?

Sunday, April 10, 2011

Enclose

Sejak tadi, pikir dan rasa yang ada hanya bergumul. Lelah saya. Begitulah perkiraan saya. Saya beri bookmark pada pikir dan rasa. Tapi, belum juga merasa pas. Mungkin harus berjalan lagi sesuai dengan prosedur. Mungkin harus sering-sering lagi makan buah-buahan biar air di tubuh dalam bisa seimbang. Mungkin harus jangan banyak bicara yang tidak penting agar rasa bersalah tidak semakin liar. Mungkin harus pintar-pintar mengatur volume ke-AKU-an saat bertemu dengan alien-alien yang lain. Mungkin harus paham bagaimana menjaga sebuah dan banyak ide dari bocornya mulut dunia agar tetap merasa bisa memijak bumi dengan leluasa. Mungkin harus selalu menganggap kalau Tuhan selalu di sampingmu.

Jika sekarang saya merasa gelisah, tak seharusnya menangis menjadi-jadi. Menumpuk memang. Itu semua karena tidak mau menikmati. Hari ini saja. Ya, hari ini saja. Apa yang bisa? Jangan dipikirkan. Jangan, jika ada yang harus dibuang-buang.

Berhenti lah untuk merasa hebat. Mungkin siapa pun bisa memuji. Tapi, bisa jadi tidak memuja. Diam-diam saja, tanpa harus melirik apa yang akan diberi.

Tidak hebat. Sungguh tidak hebat. Yang ada juga kejujuran itu yang paling putih. Banyak yang tidak diketahui, tapi sudah merasa seperti banyak tahu dan tahu banyak. Merasa hebat. Ya, merasa hebat. Apa tidak lelah terus begitu? Benar-benar tidak ada yang hebat.

Tak sanggup dan tak perlu untuk berlisan, katakan saja lewat selipan-selipan kertas. Tak perlu tunjukkan untuk bisa dibaca apa isi di dalamnya. Seperti menjual diri dengan jangkauan harga.

Orang lain, boleh saja kita masuki. Selami dia. Bicarakan dia di dalam dirimu. Tak perlu harus ada yang tahu karena itu memang tidak perlu. Tidak ada yang hebat. Hanya Tuhan.

Pikir dan rasa bukan hal kemarin sore. Semua, tidak ada yang hebat.

Saturday, April 9, 2011

Pelangi-pelangi.. Alangkah indahmu..

Mari! Malam ini aku sakit kepala. Sebelah pulak itu. Hmm..yang kanan. Tau kau 'kan macam mana rasanya? Tak usah lah aku jelaskan lagi. Malas aku.

Malam. Sekarang sudah malam. Baru pulang aku. Rame kali pun orang-orang di jalan. Apalagi di daerah Ring Road. Rame macam semut. Ada pula yang konser di pom bensin Petronas Ring Road. Ah, pening kepalaku tengok banyak orang macam gitu.

Ha! Hari ini, seharusnya aku senang. Tapi, entah kenapa ilang pulak rencana aku untuk bisa senang. Jangan kau tanyak kenapa aku tak bisa dapat senang itu. Mana lah aku tau. Ah, bosan kali aku.

Aih mak jang, udah minumnya aku obat, tapi tak ilang-ilang juga sakit kepalaku. Macam mana lah ini? Tadi aku bikin lagu. Baru yang sound piano, melodi, kick dan senur drum. Gara-gara kepalaku lagi pening kali, semua kotak-kotak di FL bikin aku jadi ngamuk-ngamuk. Malas aku. Jadinya baru cuma sampek intro saja lah yang aku bikin. Judul laguku: Look in Me. Belum tau aku lanjutan nadanya. Kapan-kapan aja lah. Nanti ngamuk-ngamuk lagi aku.

Tak usah ajak aku ngomong tentang buku, sastra, politik, apalagi tentang Briptu Norman. Tau kau 'kan aku lagi bosan? Seminggu ini udah penat kali untuk mikir. Alah, tau aku kalau kau pasti remehin aku. Sukak-sukak aku lah mau macam mana. Pokoknya aku lagi gak sor kalau kau ajak ngomong tentang itu tadi.

Betol-betol lah aku ini lagi malas kali tengok orang-orang. Termasuk kau lah. Apa pulak kau protes? Mana boleh angek! Ngerti lah kau dikit sama aku. Gak lamanya aku macam gini. Besok pagi pun aku udah lupa. Gak pala kali lah kau pikir-pikir.

Hah! Masih pening kepala aku. Tidur lah aku ya. Kamis mungkin aku keluar. Lagi pengen di rumah aja aku. Ok lah ya..




Pelangi-pelangi..
Alangkah indahmu.
Merah kuning hijau di langit yang biru.
Pelukismu agung..
Siapa gerangan.
Pelangi-pelangi..
Ciptaan Tuhan..



Hoaaaaammm...!!!

Tuesday, March 29, 2011

Hari ini

Hari ini panas. Panaskah hati ini?

Wednesday, February 9, 2011

Labirin

1.  Tempo
2.  Gatra
3.  Horison
4.  Fiksi
5.  Non-Fiksi
6.  Disertasi
7.  Diktat
8.  Komik
9.  Kliping Kompas
10.Sampul Buku
11.Kerajinan Tangan
12.Film
13.Lirik lagu
14.Cerpen
15.Novel
16.Blog
17.Puisi
18.Naskah drama
19.Buku harian
20.Melukis

Thursday, January 13, 2011

entahlah..

Ini saya yang harus terus berkarya

Bagaimana ini? Sudah beberapa hari yang lalu, hari ini juga, saya labil emosi. Bukan berarti marah-marah. Tapi, entahlah. Rasanya mata ini sedang tidak nyaman saja memandang. Telinga juga begitu, sedang tidak suka saja mendengar selain suara saya sendiri dan suara hati kecil saya. Sepertinya cuma dua alat itu saja yang lebih menonjol dalam mengindra. Mata dan telinga. Apakah saya harus tutup mata dan tutup telinga? Atau dengan yang tanda kutip sekali pun? Ah, sepertinya sama saja. Masih tetap bisa terlihat dan terdengar.

Entahlah. Saya tidak mengerti mengapa bisa begitu. Kata teman saya, jangan dibiarkan rasa itu semakin dirasa-rasa nanti bisulmu pecah. Hahaha..maaf teman! Saya sedang tidak punya bisul! Tapi, saya bingung menghadapi diri saya ini. Kalau bingung begini, buat apa saya menulis tentang ini? Percuma saja! Hmm..sepertinya tidak juga. Lebih baik saya teruskan saja bercerita tentang entahlah ini.

Ada seperti ikatan yang mengekang begitu kuat di tubuh saya saat ada seseorang yang bertanya tentang aktifitas saya. Mengapa? Karena saya sedang tidak ingin diketahui oleh siapa-siapa tentang apa-apa yang ada di saya walau hanya sekedar bertanya dengan pertanyaan yang sangat sederhana, "Lagi ngapain, kamu?" Entahlah mengapa bisa seperti itu. Rasa-rasanya hmm...tidak penting dan saya malas dengan yang begitu. Sedang tidak bersahabat dengan yang namanya basa-basi.

Bisa jadi atau bisa saja saya ini adalah teman yang tidak menyenangkan, teman yang tidak baik, atau teman yang tidak pantas menjadi teman. Ya, bisa jadi atau bisa saja. Bagaimana jika berteman tidak perlu bertanya tentang identitas? Tentang siapa nama asli, kuliah atau kerja, hobinya apa, karakternya bagaimana, dan sebagainya itu. Kenali saja mereka dari yaaaaa...kata-kata mereka, mungkin. Terserah kata-kata yang dilihat atau didengar dari mana. Dari tulisannya kah atau dari cerita uneg-unegnya kah, banyak! Nilai dan pahami  saja. Saya sedang tertarik seperti itu. Rasanya seperti ada rasa terikat yang tak terikat jika berhubungan dengan model begitu. Lama-lama juga akan terbaca identitasnya tanpa harus bertanya. Entahlah bagi orang lain. Paling malas jika harus menjawab, "Kamu ini orangnya gimana sih?" Huft..

Introvert, mungkin. Itu lah saya. Tapi, jika saya sudah menulis begini, masih pantas dianggap introvert? Entahlah. Mungkin ini masih permukaan kulitnya saja. Belum lapisan yang di bawah kulitnya. Apalagi isinya. Hanya bercerita. Tentang...entahlah.

Bicara tentang dunia, mungkin saya sedang tidak tertarik melihat dunia orang lain walaupun mereka sangat berwarna. Saya pun punya dunia. Bahkan lebih berwarna. Jika mereka punya dua puluh empat warna, maka saya punya tak-terhingga warna. Entahlah yang tak-terhingga itu berapa banyak dan bagaimana rupa. Ya, sekali lagi saya katakan kalau saya juga punya dunia. Itu yang membuat saya bertahan jika saya kecewa. Saya masih manusia normal, mungkin, untuk merasakan kekecewaan. Untuk yang satu ini, dunia, saya tidak ingin diganggu gugat. Bukan apa-apa, tapi...entahlah. Memang sudah begitu saya. Tidak suka diganggu gugat tentang dunia. Apa sebenarnya dunia yang saya maksud ini? Bisa saja atau bisa jadi alam pikiran saya. Ya sudah pasti itu! Apalagi? Oh, ada satu lagi. Mungkin diamnya saya. Jangan bertanya, "Kenapa diam saja dari tadi?" atau "Kok tiba-tiba diam?" di saat saya memang sedang diam. Jika ditanya begitu di saat saya sedang menikmati diamnya saya, rasanya seperti disuruh mengutip butir beras dalam kondisi angin sedang bertiup kencang dan saya harus berjalan dengan tubuh tetap tegak. Bah! 

Entahlah. Saya bukan tidak berpikir tentang masa depan. Saya hanya memastikan kalau masa sekarang yang saya anggap nyata masih dalam kondisi baik-baik saja saat saya menjalankannya. Masa depan nanti bisa jadi atau bisa saja refleksi dari masa sekarang. Saya jalani saja yang sekarang. Yang di depan siap-siap menunggu. Ah, entahlah.

Saya akan kuliah lagi dan apakah benar yang dikatakannya kalau nanti saya akan berbicara di depan banyak orang dalam sebuah ruangan besar layaknya seorang intelektual? Entahlah! 

Monday, January 3, 2011

tiba-tiba mengingat itu kembali..

Saya bukan sedang menghilangkan bukti dari kekasih jika saya dulu selalu mencintai perselingkuhan. Bukan juga sedang lari dari kenyataan jika dulu saya memang mencintai perselingkuhan dan saya memang berselingkuh. Dan juga, saya sedang tidak berbohong kepadanya jika saya memang sungguh benar-benar berselingkuh dan saya mencintai itu. Saya bukan begitu. Tapi, ini lah keputusan untuk menjawab bahwa masa lalu saya sebelum bersama kekasih di sini lah garis finisnya. Tepat di bawah kaki kekasih saya dan agak berjarak sekitar sepuluh sentimeter dari kaki saya sekedar untuk memberi tempat bahwa saya punya masa lalu. Ya, hanya sekedar tempat. Tak berisi. Karena isinya sudah saya bakar, dan sudah menjadi abu. Dan abunya sedang saya pijak di bawah kaki saya dan juga kaki kekasih.

Saya bukan menyembunyikan cerita pengkhianatan itu dari kekasih dengan membakar semua buku-buku harian saya sebelum bertemu dengan kekasih. Saat itu, buku-buku itu menjadi wabah bagi saya dan saya jatuh sakit. Saya tahu mengapa saya sakit. Maka, saya bakar itu semua. Andai ada sungai Gangga di sebelah rumah saya, sudah saya hanyutkan saja abu itu di situ agar saya segera sembuh dari sakit karena mereka. Tapi, tidak ada sungai Gangga.

Saya tidak menangis saat membakar semua buku itu. Saya justru tertawa karena saya yakin kesembuhan semakin mendekati saya. Sudah tidak sabar untuk menulis kisah yang baru tentang saya dan kekasih di buku harian yang baru pula. dan sekarang saya sudah menulis banyak tentang kisah kekasih dan saya. Saya pernah tertawa geli saat kekasih mengirimkan pesan kalau dia sedang membaca buku harian saya sedangkan dosen sedang memberi kuliah di depan kelasnya. Saat itu saya sedang di rumah. Saya tanya apakah buku harian saya ketinggalan? Dia jawab, ya. Dan isi tasnya pada hari itu saat ke kampus hanya buku harian saya. Bagaimana tidak bahagia jika saya merasa sedang dibawanya kemana-mana padahal saat itu saya sedang berada di rumah yang sangat jauh dari kampus? Itu lah kekasih saya. Romantis bukan pada tempatnya.

Tiba-tiba saya mengingat itu kembali. Mengingat kalau saya punya banyak buku harian yang sudah saya bakar, dulunya. Tapi, saya berbohong jika saya lupa isinya secara utuh. Saya masih ingat beberapa, lebih tepatnya beberapa titik saja yang ada di buku harian itu dan saya tidak merasa bersalah.

Baru saja saya tersenyum sinis akan masa lalu. Entah untuk siapa dan mengapa saya tersenyum begitu saya pun ragu untuk menjawab. Mungkin saja jawabannya ada di dalam semua buku harian atau salah satu di antaranya yang sudah saya bakar itu, dulu. Dan tak apa-apa sekarang sudah menjadi abu karena saya pun tak peduli. 

Sunday, January 2, 2011

tentang di antara..

Antara tersentuh dan hampir menyentuh

 

Aku adalah pusat bumi yang sedang mengatur alam pikiran agar tetap beredar pada orbitnya karena jeda selalu mempunyai ruang untuk sedikit mengusik konsentrasiku. Pembicaraan di antara kita selalu membuat keningku berkerut. Tapi, itu pula yang aku suka. Setiap orang punya kehidupannya sendiri, punya side thinking-nya tersendiri yang membuat dia merasa ramai dalam kesendiriannya, punya emosi yang tersimpan, bahkan orgasme yang tertunda.

 

--Aku bisa bernafas dari selah-selah suaranya yang sumbang, hahaha..

Thursday, December 30, 2010

filosofi coklat


Siapa bilang coklat itu manis dan lengketnya bisa memukau emosi? Siapa bilang coklat itu pahit? Siapa bilang coklat itu makanan yang enak dan terasa nikmat jika ada yang memberi dengan gratis? Siapa bilang coklat itu hanya sekedar cemilan apalagi kudapan? Siapa bilang coklat itu simbol kasih sayang bagi siapa pun? Siapa bilang coklat itu sebagai obat penenang? Siapa bilang coklat itu misterius dan menghanyutkan? Siapa bilang coklat itu adalah persahabatan dan juga penderitaan? Siapa bilang coklat itu bisa bikin sakit perut? Siapa bilang coklat itu pilihan yang tepat untuk memanjakan diri sendiri? Siapa bilang coklat itu adalah ini dan coklat ini adalah itu? Siapa bilang?

Tidak selamanya coklat itu manis dan lengketnya bisa memukau emosi. Tidak selamanya coklat itu pahit. Tidak selamanya coklat itu makanan yang enak dan terasa nikmat jika ada yang memberi dengan gratis. Tidak selamanya coklat itu hanya sekedar cemilan apalagi kudapan. Tidak selamanya coklat itu simbol kasih sayang bagi siapa pun. Tidak selamanya coklat itu sebagai obat penenang. Tidak selamanya coklat itu misterius dan menghanyutkan. Tidak selamanya coklat itu adalah persahabatan dan juga penderitaan. Tidak selamanya coklat itu bisa bikin sakit perut. Tidak selamanya coklat itu pilihan yang tepat untuk memanjakan diri sendiri. Tidak selamanya coklat itu adalah ini dan coklat ini adalah itu. Tidak selamanya.

Dibutuhkan waktu untuk merasakan kalau manis dan lengketnya coklat bisa memukau emosi. Dibutuhkan waktu untuk memahami kalau coklat itu ada juga yang pahit. Dibutuhkan waktu untuk membayangkan sepertinya coklat itu makanan yang enak dan terasa nikmat jika ada yang memberi dengan gratis. Dibutuhkan waktu untuk berfikir bagi beberapa orang yang menganggap coklat itu hanya sekedar cemilan apalagi kudapan. Dibutuhkan waktu untuk tertawa karena ada yang mengatakan coklat itu simbol kasih sayang bagi siapa pun. Dibutuhkan waktu untuk tenggelam sejenak bagi mereka yang mengigau kalau coklat itu sebagai obat penenang. Dibutuhkan waktu untuk mencari tahu apakah benar coklat itu misterius dan menghanyutkan. Dibutuhkan waktu untuk menangis berdua hanya untuk membisikkan kalau coklat itu adalah persahabatan dan juga penderitaan. Dibutuhkan waktu untuk bertanya kepada ahli kesehatan apakah mungkin coklat itu bisa bikin sakit perut. Dibutuhkan waktu untuk berkhayal bagi para perempuan kalau coklat itu pilihan yang tepat untuk memanjakan diri sendiri. Dibutuhkan waktu untuk mengatakan kalau coklat itu adalah ini dan coklat ini adalah itu. Butuh waktu.



--Romo, Yuni ingin makan coklat dan ice cream Conello, bukan Magnum.

Thursday, December 23, 2010

cul-de-sac


Sudah saya perkirakan dari awal kalau dia hanya mencari kepuasan dari obsesinya itu. Selama ini saya selalu diam karena malas menghadapi dia yang sangat tidak penting bagi saya. Mengapa saya diam? Karena tidak penting untuk berbicara kepada orang yang tidak penting. Entah sudah berapa banyak usaha yang dia lakukan untuk terus membuntuti saya kemana pun saya pergi. Heran saja ada manusia yang seperti itu. Mungkin karena saya baru nemu saja makanya heran. 

Dia itu hanya terobsesi mencari saya. Yang saya tahu, orang yang terobsesi dengan sesuatu atau seseorang itu sangat suka dengan proses yang dia lakukan dalam mencapai obsesinya. Setelah obsesinya tercapai, sedikit saja apalagi secara keseluruhan, dia akan berhenti. Seakan-akan sebelumnya dia tidak sedang mengejar apa pun atau siapa pun. Dia akan berhenti begitu saja. Sangat cepat. Mungkin dalam perjalanan pengejarannya dia merasa penasaran mengapa obsesinya begitu susah dicapai. Setelah dapat, penasaran pun hilang, kepuasan pun hanya sekedar, dan ujung-ujungnya berhenti. Setelahnya dia hanya diam dan tidak seagresif saat dia sedang mengejar obsesinya. Aneh.

Saya hanya tertawa terbahak-bahak saja, mungkin sampai guling-guling di lantai saat tahu dia hanya bisa sebatas itu membuntuti saya. Mungkin saja dia sedang menyusun rencana yang lain agar bisa leluasa menemui saya dan kemudian membunuh saya. Tapi, saya tidak peduli. Sekali pun saya akan bertemu dengannya, tidak ada yang perlu saya takutkan. Saya tidak merasa apa-apa selain saya menganggap dia seperti batu. Oh, masih lumayan saya menganggapnya batu. Lebih baik saya menganggapnya tidak dengan anggapan apa-apa alias tidak pernah ada.

Ini sudah berakhir bagi saya. Baginya ini belum berakhir, mungkin. Saya punya kehidupan sendiri dan saya juga punya banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan dan dikerjakan daripada menghadapi hal-hal yang tidak penting seperti dia. 
Saya tutup buku sudah dari sejak bertahun-tahun yang lalu. Sekarang pun saya sudah tutup buku untuk hal-hal yang tidak saya inginkan datang kembali dari masa lalu saya. Saya punya buku baru yang sedang saya tulisi dengan cerita baru pula. Untuk apa cerita lama apalagi tidak saya inginkan harus saya tulisi di buku baru? Membuat jelek saja.

Saya tidak peduli jika anjing harus terus menggonggong. Saya bukan tulangnya. Saya ini majikannya yang akan terus meludahi dan memakinya. Dia itulah anjing yang terus membuntuti saya. Anjing kan begitu, tukang buntut.

“Tidak ada maaf bagimu. Saya ini kejam. Lebih kejam dari Tuhan yang masih mau memaafkan hamba-Nya. Sekarang, pergi sana!!”

***

 
Pernah suatu ketika saya menertawai diri saya karena baru tau ternyata yang sebenarnya dia inginkan dari reaksi saya adalah saya diam sama sekali dan mati rasa terhadapnya, bukan marah-marah karena merasa terganggu. Awalnya saya begitu, tapi emosi lebih menang daripada logika. Kemudian kembali lagi seperti semula. Sejak saat itu, saya langsung mematikan lampu dunia saya dan menulis di depan pintu pagar saya:

“YUNI ZAI TIDAK KENAL KAMU. TERIMA KASIH.”

Monday, December 20, 2010

pertanyaan saya adalah..

1. Apa yang masih kamu ingat tentang diri kamu?

2. Setiap bangun dari tidur, terserah di jam berapa pun, bagaimana cara kamu meyakinkan diri kamu kalau kamu baru saja bangun dari tidur?

3. Berbicara tentang strategi dalam menghadapi siapa pun saat pertemuan, pernahkan terpikirkan oleh kamu untuk melarikan diri dari pertemuan itu? Mengapa?

4. Pada saat membaca buku, kamu pasti melihat begitu banyak rangkaian huruf di setiap halamannya. Kamu membaca mereka. Jika mereka menjadi kamu, apa yang seharusnya mereka baca tentang kamu?

5. Coba anda jelaskan perbedaan "kamu melihat saya" dengan "saya dilihat oleh kamu".

6. Setiap kamu berbicara dengan siapa pun, apalagi dengan intensitas substansi yang lebih banyak, bagian tubuh mana yang sering kamu cover untuk melindungi diri kamu?

7. Ketika kamu diminta untuk menggenggam sesuatu, sampai kapan kamu akan menggenggamnya? Mengapa?

8. Seberapa penting sosok kamu itu bagi orang lain dan diri kamu sendiri? Mengapa begitu?

9. Berapa kira-kira kamu memberi jarak antara masa sekarang dengan yang barusan saja terjadi dan yang akan terjadi?

10. Kalau saya katakan kamu lebih baik mundur saja dari masa depan, apa yang akan kamu lakukan? Mengapa?



Sunday, December 19, 2010

Reject

Jeruji berputar dengan kata membalikkan makna. Tuhan di atas hitam dan putih sekedar realita atau bukan sama sekali karena kita buta akan dunia. Nyawa terdiam karena dipertaruhkan demi pilihan. Beribu tanya tak sempat terpikir hilang karena aku baru tahu betapa besarnya mulut para binatang yang meneteskan darah tanpa tuan di kepala.

Bagaimana bisa kita bertahan sementara tak ada beda antara kita dengan mereka. Tidak ada kesakitan yang ingin singgah dengan sukarela. Karena sebenarnya kita tidak pernah ada di depan matanya. Siapa dia? Siapa kita? Siapa mereka? Tidak ada siapa-siapa karena tidak seharusnya ada.

Iblis menangis meminta pengampunan dan entah mengapa hanya manusia yang sudi mengampuni. Mungkin karena manusia begitu cinta kepada iblis dan iblis lebih mencintai manusia. Mereka akan selalu bersama dalam satu persetubuhan suci dimana iblis menjadi penguasa atas segala rahim yang menelurkan kepala.

Kita berjalan dalam seretan-seretan tepi jurang. Ketakutan menyapa dan manusia pun menjerit. Mereka tidak kenal apa yang mereka katakan. Doktrin-doktrin pun menyebar cepat tanpa tahu apa itu malu.

Masih ada satu peradaban di ujung barat sana yang selalu kita agungkan untuk keruntuhannya. Kita mencari perangsang agar takdir berpihak bukan kepada Tuhan karena kita menginginkan kebebasan sementara Tuhan menginginkan penderitaan.

Inilah cerita massa dalam hitungan satu dua tiga. Diperalat untuk menjadi alat kemudian diajari bagaimana cara membangkang. Setelah itu kangkangi mereka yang merasa orang besar.

Kita tidak pernah ada dan mereka pun begitu. Yang ada hanya sebuah anatomi yang tersusun dari sedikit niskala tak berpihak. Kita kata ini adalah kekerasan. Mereka kata ini adalah cinta dan kasih sayang.

Pelajari mental sampai ke akarnya karena kejahatan berasal dari kelemahannya. Kamu bodoh telah tunduk dengan kepatuhan seorang manusia. Jangan manusia, tapi dirimu saja.

Aku lihat mulutmu sakit karena diciptakan. Kamu jenuh mencari apa yang ada pada sesuatu yang menghubungkan manusia dengan binatang-binatang yang bungkam. Demikian kata Tuhan contoh satu kekejian. Bukan dia yang menjadi korban karena manusia menderita tak punya banyak kata.

Pada mulanya selalu adalah tubuh. Kemudian nama, asal-usul, dan bunuh. Tidak butuh invasi dengan sumbu dusta karena sudah kukatakan ini semua tak pernah ada.

Jangan bicara tentang tubuh, mesin dan kuasa. Seperti raibnya seduksi pada mesin seks ala Sade. Rezim Orde Baru pun kehilangan wataknya. Mereka terintegrasi ke dalam prosedur mekanis. Dengan kata lain itu adalah kekuasaan.

Adalah satu-satunya jalan yang membawa individu lemah kepada kekuatan kehendak. Yang ditakutkan bukanlah perubahan pertobatan tetapi perubahan dimana sesuatu tidak bisa berubah lagi. Ketakutan ini yang memblokir komunikasi dalam kelainan menyadarkan diri dalam ketegasan tanpa sadar. Paradoks tidak akan mati. Akhir tidak akan kembali. Luka bukan sekedar fiksi karena tak terbatas adalah tempat kematian.

Teror menghasilkan massa, karena teror menyamakan manusia. Perbedaan di antara kita menguap di bawah cengkraman takut yang sama. Diri terbenam dalam lautan kerumunan adalah jalan pintas untuk melupakan sejenak tentang siapa kita. Sendirian, manusia merasa cemas. Akan dijemput kematian dengan pesona konfrontasi.

Wednesday, December 15, 2010

Celotehan Insomnia

Saya minta waktu. Mana? Bawa sini!




Di kamar saya sudah banyak yang menumpuk untuk diselesaikan. Jadi, jangan cerewet. Kulit kepala saya dari tadi gatal-gatal. Jangan dikira tidak keramas. Kemarin saya baru keramas.
Kapan saya harus menggunting-gunting lagi? Merekat-rekat lagi? Menjilid-jilid lagi? (yang ini bukan kerjaan saya).
Satu, dua, tiga, empat, ih...banyak juga. Bagaimana?
Bukunya juga banyak. Malah tadi baru ada yang dipinjam lagi.
Saya mau rehat mungkin. Sampai? Akhir tahun, mungkin. Becanda ah! Iya, memang becanda. Maunya bagaimana? Terserah saja lah.
Eh, untuk beberapa minggu ini jangan ada berhubungan dulu dengan orang di luar rumah. Yee...saya bukan alien! Memang bukan. Trus? Kamu butuh waktu ah. Untuk? Membuat daftar lagi. Bosan ah. Ya gak apa-apa.


Kontemplasi dalam masa inkubasi transisi yang berhibernasi..
Ya sudah. Jam berapa sekarang? Lupa. Coba di lihat dulu! Malas ah.
Saya pergi dulu, daaaaaaaaaaaaaa......

Thursday, December 9, 2010

Monday, December 6, 2010

Resolusi, katanya.


Kali ini Tahun Baru Islam dan apa yang sedang saya pikirkan sekarang? Banyak. Sangat banyak. Tapi, ya begitulah manusia tidak pernah pernah berhenti berpikir walau akalnya sering tidak dipakai untuk "berpikir".

Tidak tau mengapa sudah entah hitungan hampir berapa minggu saya sudah sulit tidur. Insomnia merajai tubuh saya di kala malam. Sebenarnya saya tidak memaksakan diri, tapi mau bagaimana lagi jika mata ini tidak bisa diajak untuk terpejam.

...dan saya sedang ingin menulis sesuatu. Mungkin hampir tentang saya.

Tahun baru selalu menjadi ajang untuk introspeksi diri. Saya juga begitu walau sering resolusi hanya sebatas teks saja. Sekedar formalitas kalau saya sedang tidak ingin ketinggalan momen untuk mengikuti tahun baru.

Apa resolusi saya kali ini? Saya sedang tidak berniat menuliskan per poin apa-apa saja resolusi saya untuk setahun ke depan. Sangat banyak jika saya peduli menuliskannya. Itu tidak penting karena setiap hari saya selalu menulis di notebook saya tentang apa saja.

Agenda setiap hari selalu saya jadwalkan karena saya berpikir kalau waktu tidak bisa diajak main-main karena yang saya lakukan tidak selalu hal yang main-main. Cukup saya bermain-main dengan aktifitas saya tapi tidak dengan waktu. Saya paling merasa bersalah jika melakukan aktifitas yang tidak terjadwal di hari yang sudah saya jadwalkan kecuali jika itu memang sangat penting sekali. Tapi, jika itu tidak begitu penting...sebaiknya jangan. Merasa bersalah itu paling tidak saya inginkan. Ya, saya merasa bersalah dengan diri saya sendiri karena sejak malam saya sudah berjanji dengan tubuh saya kalau besok "seginilah" jadwal yang harus dikerjakan oleh tubuh saya ini.

Di luar agenda harian yang saya jadwalkan, saya juga menulis tentang hal-hal lain yang belum saya kerjakan. "Belum saya kerjakan" bisa jadi karena saya lupa, saya tunda, atau saya baru nemu ada hal yang belum saya kerjakan. Misalnya: menyampul buku-buku yang ada di rak; melanjutkan klipingan KOMPAS yang belum kelar; membaca blog teman-teman; menulis novel, cerpen, lirik lagu, blog, dan sebagainya; membaca buku-buku yang masih numpuk di rak; membaca komik yang ada di Titik Koma; menonton film yang udah di download tapi malas terus; dan masih banyak lagi yang lainnya. Saya gampang menuliskan itu semua tapi mengerjakannya butuh perlawanan yang hebat jika malas itu lebih kebal dari imun rajin saya, hahahaha...

Saya sekarang-sekarang ini sering pelupa. Dulu saya selalu ingat. Tapi, saya senang karena jadi pelupa berarti saya masih normal, hahaha... Pernah saya tidak sengaja lupa meletakkan CD pas foto saya padahal sangat penting sekali. Saya bongkar satu kamar tetap juga tidak ketemu. Saya bukannya marah-marah tapi malah ketawa-ketawa. Saya bilang ke diri saya sendiri, "Jadi pelupa itu memang menyenangkan. Keren malah!" Makanya itu saya selalu menulis. Bahkan apa yang ingin saya bilang ke orang lain pun saya tulis terlebih dahulu. Nanti saat bertemu dengannya, entah kapan lah itu, baru akan saya katakan. Apakah itu berupa pertanyaan, pemberitahuan, atau apa saja lah itu. Kalau saya lagi rajin dengan handphone saya, saya akan langsung menghubungi mereka yang pastinya sambil memegang daftar nama orang-orang yang akan saya hubungi beserta perihalnya. Hahahaha...

Semua buku saya di rak sudah saya catat judul-judulnya. Jika ada yang mau pinjam buku-buku saya selalu saya catat nama mereka. Bukan tidak percaya, tapi untuk memudahkan saya mendeteksi keberadaan buku-buku saya sedang berada di tangan siapa. Apalagi saya tidak memberi batas waktu kepada mereka yang ingin meminjam. Asal tidak hilang saja, teman-teman.

Apalagi ya yang ingin saya tulis???

Banyak yang bisa saya tulis. Atau lebih tepatnya, banyak yang harusnya saya tulis. Dengan saya seperti itu, membuat saya merasa nyaman dengan diri saya. Kemana pun saya pergi, pikiran saya tetap terkotak-kotak untuk hal-hal yang sudah saya klasifikasikan.
Untuk urusan emosi, saya juga menulis. Lebih nyaman saya bercerita dengan menulis walaupun mungkin akan ada yang dibaca oleh orang. Yang saya pikirkan adalah setiap orang punya penafsirannya masing-masing. Jadi, tidak masalah jika nantinya mereka pun tau apa masalah saya. Bagi saya yang terpenting adalah saya bisa mengeluarkan semua yang menjadi beban berupa kegelisahan dalam hati dan pikiran saya lewat tulisan tanpa saya harus membebani orang lain (lagi).

Apa resolusi saya kali ini?
Saya ingin lebih peduli dengan diri saya sendiri, kemudian orang lain (siapa pun itu, kenal tak kenal), dengan cara saya sendiri.
Tentang Tuhan??? Tuhan selalu ada bersama saya berapa pun jarak yang terbentang di antara "KAMI".



--malam ini indah walau tak jadi menangis